Dokumen Kolonial Ungkap Besarnya Pengaruh KH Sholeh Darat di Jawa pada Abad ke-19

Dokumen Kolonial Ungkap Besarnya Pengaruh KH Sholeh Darat di Jawa pada Abad ke-19

SEMARANG - Kiprah intelektual dan perjuangan kultural KH Sholeh Darat kembali mendapat sorotan akademik dalam "International Seminar on the Legacy of K.H. Sholeh Darat for Indonesian Independence", yang digelar atas kerja sama Pemerintah Kota Semarang dengan Program Doktor Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Bertempat di Rama Shinta Hall, Patra Semarang Hotel & Convention. Selasa (11/11/2025).

 
Seminar tersebut menghadirkan pakar-pakar terkemuka dari Leiden University, Universiti Malaya, Universitas Diponegoro, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hingga Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
 
Berbagai makalah ilmiah yang dipresentasikan dalam forum ini memperkuat argumentasi historis bahwa Kiai Sholeh Darat bukan sekadar ulama besar di Jawa abad ke-19, tetapi tokoh yang memberikan pondasi kuat bagi lahirnya nasionalisme Indonesia. 
 
Para akademisi menegaskan bahwa warisan pemikiran dan perjuangan beliau sudah lebih dari cukup untuk mengusulkan pemberian gelar Pahlawan Nasional.
 
Salah satunya yakni akademisi asal Leiden University, Suryadi, menyebut bahwa kritik Kiai Sholeh Darat terhadap dominasi politik kolonial tersurat dalam berbagai karyanya, seperti Minhājul Atqiyā’ dan Majmu’at al-Shar’iyyah al-Kāfiyāt li al-‘Awām. Melalui kitab-kitab beraksara Pegon itu, sang ulama menegaskan pentingnya menjaga akidah, martabat, dan kemandirian umat dari hegemoni pemerintah kolonial.
 
“Beliau menolak praktik-praktik keagamaan yang distandarkan oleh pemerintah kolonial melalui institusi para penghulu. Kritiknya sangat jelas, tegas, namun disampaikan dengan cara yang elegan dan tetap berakar pada nilai-nilai keilmuan,” ujar Suryadi.
 
Ulama Kharismatik yang Dicintai Umat 
Dalam sesi pemaparan, dipaparkan pula dokumen-dokumen Belanda awal abad ke-20 yang menyingkap bagaimana masyarakat Jawa sangat menghormati Kiai Sholeh Darat. Suryadi menemukan arsip di Leiden yakni salah satu catatan surat kabar De Locomotief edisi 4 April 1902 menggambarkan suasana meriah dalam hajatan putri beliau. Lebih dari 800 orang datang memenuhi rumahnya, mulai dari haji, santri, hingga pejabat pribumi. Dua ekor sapi muda, dua ekor sapi dewasa, dan lebih dari 60 kambing disembelih untuk menjamu tamu. Kembang api turut menyemarakkan acara tersebut.
 
Catatan serupa muncul dalam laporan mengenai tradisi Rebo Wekasan. Warga dari berbagai daerah datang ke kediaman ulama yang mereka hormati, termasuk Kiai Sholeh Darat, untuk mengambil “air suci banjoe djandjan”. Ratusan orang rela berdesakan demi mendapatkan seteguk air itu sebagai bentuk tabarruk.
 
Penggambaran dalam sumber-sumber kolonial ini menunjukkan bahwa beliau bukan sekadar ulama besar, tetapi juga sosok yang mengakar kuat dalam tradisi religius masyarakat Jawa.
 
Perlawanan melalui Kalam: Strategi Reflektif Sang Ulama
Berbeda dengan perlawanan fisik seperti Perang Jawa, Kiai Sholeh Darat memilih jalur intelektual sebagai medium perjuangan. Ia memahami bahwa kolonialisme tidak hanya hadir melalui senjata, tetapi juga melalui hegemoni budaya dan kontrol administratif terhadap kehidupan keagamaan masyarakat.
 
“Perlawanan beliau adalah jihad bil-qalam, sebuah upaya mencerahkan umat melalui tulisan dan pengajaran,” jelas pembicara asal Padang ini.
 
Di beberapa kitabnya, Kiai Sholeh Darat menekankan kewajiban memegang tradisi keislaman yang selaras dengan budaya lokal namun tetap berlandaskan syariat. Ia gigih mengingatkan bahaya imitasi terhadap budaya Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
 
Melalui karya-karya ini, Kiai Sholeh Darat turut meneguhkan identitas keislaman masyarakat Jawa yang tetap memelihara kultur lokal namun tetap kokoh berlandaskan syariat.
 
Dalam sesi penutup, Suryadi menegaskan bahwa kontribusi Kiai Sholeh Darat—baik dalam pendidikan, budaya, maupun kritik politiknya—telah mewariskan semangat nasionalisme yang menginspirasi generasi setelahnya. Murid-murid KH Sholeh Darat kemudian menjadi tokoh penting perjuangan kemerdekaan.
 
Selain itu, tradisi haul beliau yang diperingati setiap 28 Ramadan di Kompleks TPU Bergota Semarang menjadi bukti bahwa masyarakat masih mengagumi dan memuliakan sosok ulama yang sederhana, bersahaja, sekaligus tegas ini.
 
Dengan mempertimbangkan kelengkapan dokumen primer, karya-karya KH Sholeh Darat yang telah diteliti oleh berbagai akademisi, serta pengaruh luas dalam pembentukan karakter keislaman dan nasionalisme di Jawa, seminar ini kembali mendorong pemerintah pusat untuk menetapkan KH Sholeh Darat sebagai Pahlawan Nasional. (*)


.