Dari Pesantren untuk Negeri: Ulama Bahas Kepemimpinan di Era Multikultural
KENDAL - Dalam rangka menyemarakkan peringatan Hari Santri 2025, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kendal menyelenggarakan Halaqah Pondok Pesantren bertema “Ulama dan Kepemimpinan dalam Masyarakat Multikultural”, Sabtu (18/10/2025), di Pendopo Tumenggung Bahurekso Kendal.
Forum ilmiah ini menghadirkan dua tokoh ulama karismatik, yakni Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH Abdullah Kafabihi Mahrus, dan Mudir Aam Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng Jawa Timur, KH Ach Musta'in Syafi’e. Acara dipandu oleh Ketua Tanfidziyah PCNU Kendal, KH Mukh Mustamsikin.
Dalam pemaparannya, KH Abdullah Kafabihi Mahrus menekankan pentingnya peran ulama dan pemimpin dalam menjaga stabilitas umat di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Menurutnya, setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menolak kemungkaran, namun langkah tersebut harus dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
“Jika ada kemungkaran, kita wajib menghilangkannya. Tapi ada tata cara yang diajarkan Rasulullah. Jangan sampai kemungkaran itu dibiarkan, karena bila azab Allah turun, orang-orang baik pun bisa ikut terkena imbasnya,” tegas beliau.
Kiai Kafa menambahkan bahwa kekuatan umat terletak pada persatuan dan ketaatan pada ajaran agama. Setan, ujarnya, senantiasa menggoda manusia untuk terpecah dan berkonflik. Karena itu, menjaga harmoni melalui habluminallah dan habluminannas merupakan kunci tegaknya kehidupan berbangsa.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya menghormati pemimpin negara, meskipun memiliki kekurangan.
“Pemimpin, termasuk presiden, tetap harus dihormati. Pemimpin yang zalim sekalipun lebih baik daripada tidak ada pemimpin. Jika negara aman dan damai, akan datang kebaikan lain seperti pendidikan, ekonomi, dan kesehatan,” ujarnya.
Semangat Resolusi Jihad dan Peran Pesantren
Sementara itu, KH Ach Musta'in Syafi’e menyoroti keteladanan para ulama pendiri NU dalam membangun kepemimpinan umat. Ia mengangkat kembali semangat Resolusi Jihad yang dicanangkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, sebagai tonggak penting dalam sejarah bangsa.
Menurutnya, jauh sebelum berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI), perlawanan terhadap penjajah justru digerakkan dari lingkungan pesantren dan para kiai.
“Pada masa itu belum ada TNI. Yang pertama kali bergerak adalah para santri dan kiai. Dari pesantren lah muncul keberanian dan tekad mempertahankan tanah air. Itulah ruh Resolusi Jihad yang harus terus kita warisi,” ungkapnya.
Kiai Musta'in menegaskan bahwa ulama bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan juga penjaga nilai kebangsaan yang mampu merawat keberagaman dalam bingkai persatuan.
“Ulama memimpin bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu, hikmah, dan akhlak. Dalam masyarakat multikultural, ulama harus mampu menjadi penengah dan perekat, bukan pemecah,” tandasnya.
Halaqah ini menjadi ruang refleksi bagi para santri, kiai, dan warga Nahdliyin Kendal untuk mempertegas kembali peran pesantren dan ulama dalam menjaga keutuhan bangsa. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah digelorakan sebagai pedoman menghadapi tantangan zaman, sekaligus memperkuat komitmen kebangsaan dalam bingkai keberagaman. (*)
.
.