Kisah Abu Lahab, Nikmat Iman, dan Pesan A'wan Syuriyah PWNU Jateng di Momen Maulid Nabi

Kisah Abu Lahab, Nikmat Iman, dan Pesan A'wan Syuriyah PWNU Jateng di Momen Maulid Nabi

Semarang - Nama-nama yang tercatat dalam Al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri. Ada yang diabadikan karena kemuliaan dan kebaikannya, seperti para Nabi dan Rasul. Namun, ada pula yang disebut karena keburukannya, yakni sosok Abu Lahab—paman Nabi Muhammad saw yang hingga akhir hayat tidak pernah beriman kepada Allah maupun mengakui risalah keponakannya.

 
Hal itu disampaikan KH Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf dalam taushiyah yang diunggah melalui kanal YouTube pribadinya. Menurut A'wan Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah ini, meskipun Abu Lahab masih memiliki hubungan darah dekat dengan Rasulullah, ia tetap meninggal dalam keadaan kafir.
 
“Abu Lahab itu paman Nabi, tapi sampai mati tidak pernah iman, tidak percaya pada risalah kenabian Muhammad saw. Mati dalam keadaan kafir,” jelasnya.
 
Dari peristiwa ini, pengasuh Pesantren API Tegalrejo Magelang ini menegaskan pentingnya mensyukuri nikmat iman dan Islam yang dimiliki umat Muslim saat ini. Sebab, kita yang bukan kerabat Nabi, bahkan tidak pernah sekalipun bertemu dengan beliau, justru diberi hidayah untuk beriman.
 
“Sedulur ora, tonggo yo ora, pethuk rung tau, tapi kok iso iman, iso Islam, percaya kepada Nabi, percaya kepada Allah. Inilah hidayah pitulungan Gusti Allah yang luar biasa besar dan wajib disyukuri,” lanjut Gus Yusuf.
 
Kisah Abu Lahab Setelah Meninggal 
Gus Yusuf kemudian mengisahkan riwayat populer mengenai keadaan Abu Lahab setelah meninggal. Diceritakan, salah satu keluarganya pernah bermimpi melihat Abu Lahab berada di kuburnya dengan tubuh penuh luka, wajah muram, dan tangisan yang memilukan.
 
Ketika ditanya mengapa ia berada dalam kondisi demikian, Abu Lahab menjawab bahwa sepanjang waktu ia hanya menerima siksaan karena tidak pernah beriman kepada Nabi Muhammad dan Tuhan-Nya. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit mendapat keringanan.
 
“Aku ini setiap hari Senin mendapatkan sedikit kelonggaran, terbebas sejenak dari siksa. Dari ujung jariku keluar air yang bisa diminum sepuasnya. Tapi hanya Senin saja, Selasa sampai Ahad kembali disiksa tanpa henti,” demikian pengakuan Abu Lahab dalam mimpi tersebut.
 
Lalu, ketika ditanya mengapa ia mendapat keringanan khusus pada hari Senin, Abu Lahab menceritakan bahwa pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, ia menerima kabar gembira dari budaknya, Suaibah, bahwa keponakannya Muhammad telah lahir. Mendengar kabar itu, hatinya dipenuhi rasa bahagia hingga spontan memerdekakan Suaibah.
 
“Suaibah, mulai hari ini kamu merdeka karena kebahagiaanku mendengar kelahiran Muhammad,” ujar Abu Lahab kala itu.
 
Menurut Gus Yusuf, kisah ini menjadi pelajaran berharga. Jika Abu Lahab yang kafir saja mendapat keringanan siksa lantaran pernah merasa senang atas kelahiran Nabi Muhammad, maka umat Islam yang sudah beriman tentu berpeluang memperoleh keberkahan lebih besar bila ikut bergembira, memperingati Maulid, dan bersedekah dalam rangka memuliakan kelahiran Nabi.
 
“Semoga kita yang sudah punya iman, Islam, ditambah rasa senang memperingati Maulid Nabi dan bersedekah, akan mendapat berkah yang lebih besar. Tidak hanya bebas dari siksa kubur setiap Senin, tapi semoga selamanya kita mendapat syafaat Rasulullah hingga hari kiamat,” pungkas Gus Yusuf.