RMI PWNU Jawa Tengah Dorong Santri Aktif di Ruang Digital Lewat Seminar Bincang Santri Media
SEMARANG - Dalam rangka memperingati Hari Santri 2025, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menggelar seminar bertajuk “Bincang Santri Media: Membangun Peran Santri dalam Era Dunia Digital”, di Rumah Dinas Bapenda Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (21/10/2025).
Kegiatan yang diikuti oleh tim media pondok pesantren dan RMI PCNU se-Jawa Tengah ini menjadi ruang inspiratif bagi santri dan pegiat media untuk memperkuat peran dakwah serta literasi digital di tengah derasnya arus informasi.
Hadir sebagai narasumber tokoh muda NU dari Pesantren Lirboyo Gus Abdurrahman Iman Kafabihi, Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang KH Yusuf Chudlori, Wakil Ketua DPRD Jateng Syarif Abdillah, dan Koordinator Bidang Media RMI PWNU Jawa Tengah Ahmad Fahrurrozi.
Dalam pemaparannya, Gus Abdurrahman Iman Kafabihi menegaskan bahwa media sosial kini menjadi medan dakwah yang sangat luas dan menuntut kreativitas santri. Menurutnya, literasi digital penting agar kalangan pesantren tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku dalam membentuk opini publik.
Mengutip pandangan Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas, Gus Iman menyampaikan bahwa dakwah tidak boleh berhenti meski belum banyak pendengar.
“Apabila saat ini belum ada yang mendengarkan dakwah kalian, bisa jadi pesan itu akan didengar oleh mereka yang hidup setelah kalian,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada tiga bidang strategis yang dapat dikembangkan oleh santri untuk menjawab tantangan zaman: dakwah digital, santripreneur, dan inovasi digital. Dakwah digital, lanjutnya, berarti memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang santun dan menyejukkan, sementara santripreneur mengarah pada kemandirian ekonomi berbasis kreativitas dan teknologi.
Lebih lanjut, Gus Iman menyoroti pentingnya menghadirkan narasi positif di ruang digital untuk melawan framing negatif terhadap pesantren.
“Kita hadapi dengan karya, literasi, dan narasi yang positif. Santri harus berani berbicara dan menunjukkan bahwa pesantren adalah pusat peradaban, bukan kebodohan,” tegasnya.
Menutup penyampaiannya, ia berpesan agar santri senantiasa mencintai ilmu dan menghormati ulama.
“Sanjungan kepada guru bukan hinaan, tapi jalan menuju keberkahan. Menunduk di hadapan ulama bukan berarti lemah, tetapi tanda kemuliaan di sisi Tuhan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Nur Rohmah
.
Penulis: Nur Rohmah
.