Rais Syuriyah PWNU Jateng: Ketika Negara Tak Sepenuhnya Hadir, Ulama Wajib Mengisi Ruang Kekosongan

Rais Syuriyah PWNU Jateng: Ketika Negara Tak Sepenuhnya Hadir, Ulama Wajib Mengisi Ruang Kekosongan

SEMARANG - Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh menegaskan bahwa ulama memiliki tanggung jawab spiritual sekaligus sosial untuk mengisi ruang-ruang pengabdian yang belum terjangkau negara. Hal tersebut disampaikan dalam Podcast Menjadi Indonesia #32 yang tayang di kanal YouTube NU Online, dipandu Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan.

Podcast ini membahas peran ulama dalam menjawab problem sosial yang sering kali muncul akibat ketidakhadiran negara secara penuh. Ivan membuka percakapan dengan menyoroti fenomena kekosongan pelayanan publik yang masih dirasakan masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pinggiran.

“Ketidakhadiran negara itu perlu digarisbawahi. Yang panjenengan lakukan—mengancani rakyat—itu sebenarnya tugas konseptual negara. Tapi karena kita sudah lama merasakan ketidakadilan, muncullah orang-orang yang mengambil peran itu dengan kesadaran pribadi,” ujar Ivan. Ia menilai, peran ulama seperti Kiai Ubaid secara alamiah menjadi penopang keutuhan masyarakat ketika negara belum sepenuhnya mampu hadir.

Menanggapi hal itu, Kiai Ubaid menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam, para ulama memang diberi amanah menjaga kemaslahatan publik. Menurutnya, imamah atau kepemimpinan pada dasarnya diberikan kepada orang-orang yang ahli dan berakal untuk menganalisis persoalan serta memberi solusi.

“Kalau ada ruang kosong yang tidak bisa dilaksanakan pemerintah, tanggung jawabnya kembali kepada ulama. Itu prinsip imamah. Ketika pemimpin dipilih, bukan berarti kita menyerahkan seluruh urusan kepada negara. Ada sisi-sisi yang memang harus diurus ulama,” tegasnya.

Kiai Ubaid menambahkan, birokrasi yang rumit, keterbatasan anggaran, dan struktur pemerintahan yang belum sepenuhnya merata sering menyebabkan masyarakat tidak merasakan kehadiran negara secara cepat. Di titik itulah ulama hadir mendampingi, mendengar keluhan warga, hingga menangani persoalan-persoalan sosial yang bersifat mendesak.

“Saya pribadi tidak berani mengklaim ini sebagai gerakan kolektif. Tapi yang saya takutkan nanti, ketika ada hal yang tidak diurus negara, justru ulama disalahkan. Padahal ulama itu bergerak karena panggilan tanggung jawab,” jelasnya.

Ivan kemudian mengaitkan pengalaman Kiai Ubaid dengan sejarah negara-negara pascakolonial yang banyak mengalami kerentanan struktural. Ia menyebut bahwa kondisi di Indonesia masih lebih baik dibanding berbagai negara Afrika yang menghadapi kekosongan peran negara lebih ekstrem.

“Ekspektasi rakyat kepada negara sering kali terlalu besar. Dalam ruang lowong itulah muncul sosok-sosok seperti panjenengan yang mengisi kehadiran negara dan menjaga masyarakat tetap tegak,” kata Ivan.

Kiai Ubaid menanggapi dengan menyebut bahwa ketulusan banyak tokoh agama maupun tokoh masyarakat menjadi kekuatan bangsa yang jarang disadari. Mereka bekerja dalam senyap, tetap melayani meski tidak diminta, bahkan ketika aksesnya terbatas.

“Ini panggilan jiwa. Dikangeni atau tidak dikangeni, diminta atau tidak diminta, bahkan dihalangi pun ulama akan tetap bergerak. Itu kewajiban, terutama terhadap sesama muslim,” ujarnya.

Dalam podcast tersebut, Ivan kemudian menanyakan momen apa yang membuat Kiai Ubaid berhenti melakukan semua pengabdian tersebut. Kiai Ubaid menjawab dengan rendah hati bahwa ia hanya akan berhenti jika fisiknya tidak lagi kuat.

Ia mengenang masa mudanya ketika diajak ayahnya melayani umat menggunakan sepeda ontel. Bahkan, saking jauhnya perjalanan, kakinya pernah diikat ke pedal sepeda agar tidak terlepas jatuh saat melintasi rute panjang menuju Demak.

“Dulu saya diajak keliling pakai sepeda ontel. Kaki sampai ditalenin ke depan. Setelah itu mampir ke tempat lain lagi, kadang nginap, paginya rapat. Sekarang saya tinggal duduk di mobil dan ada yang nyopir. Kalau ingat itu semua, saya malu kalau sekarang tidak mendampingi masyarakat,” ungkapnya.

Kiai Ubaid berharap generasi muda NU terus memiliki semangat pengabdian serupa agar ulama tidak kehilangan peran pentingnya dalam menenteramkan, mendidik, dan melayani masyarakat. (*)

.