Akademisi Jepang Prof Satomi Ohgata Sowan ke Rais Syuriyah PWNU Jateng, Soroti Standarisasi Halal di Negara Minoritas Muslim

Akademisi Jepang Prof Satomi Ohgata Sowan ke Rais Syuriyah PWNU Jateng, Soroti Standarisasi Halal di Negara Minoritas Muslim

Semarang – Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang, Senin (8/9/2025) malam, menjadi saksi pertemuan lintas budaya dan ilmu. Seorang akademisi Jepang, Prof Satomi Ohgata Nurchasanah, datang sowan kepada Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh. Kehadiran Guru Besar Fakultas Studi Internasional, Kyushu University itu sekaligus menambah warna dalam gelaran Bahtsul Masail yang tengah berlangsung di Joglo Al-Itqon.

 
Prof Satomi selama ini dikenal luas dengan kajian akademiknya mengenai standar halal di negara-negara minoritas Muslim, termasuk Jepang. Ia mengungkapkan kegelisahan tentang praktik labelisasi halal yang menurutnya semakin bergeser dari tujuan awal menjaga ketenteraman hati umat, menjadi persoalan kapitalisasi dan komodifikasi.
 
“Standar halal yang berlaku sering kali terlalu kaku dan kurang memperhatikan realitas sosial masyarakat Muslim minoritas. Padahal, bagi kami di Jepang, persoalan ini sangat menentukan keberlangsungan hidup sehari-hari,” ujarnya di hadapan para musyawwir Bahtsul Masail.
 
Ia menjelaskan, kendala yang dihadapi Muslim di Jepang cukup kompleks. Pertama, adanya perbedaan standar halal antarnegara yang membuat masyarakat bingung. Kedua, biaya sertifikasi halal yang tinggi sehingga membebani produsen kecil. Ketiga, miskonsepsi publik terkait sejumlah produk fermentasi Jepang yang langsung dicap haram tanpa kajian fikih yang mendalam.
 
Prof Satomi mencontohkan produk fermentasi seperti shoyu (kecap Jepang), miso, dan mirin. Meski mengandung etanol alami hasil fermentasi, menurutnya, tidak serta-merta menjadikan produk tersebut haram. “Diperlukan penjelasan fikih yang lebih inklusif agar Muslim di Jepang tidak terjebak dalam kerumitan hukum yang justru menyulitkan kehidupan sehari-hari,” tandasnya.
 
Dalam pandangannya, perlu dikembangkan fiqh al-aqaliyyat atau fikih minoritas, sebuah pendekatan hukum Islam yang mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat Muslim yang hidup sebagai kelompok kecil. Ia juga menegaskan relevansi Indonesia dalam persoalan halal di Jepang. “Komunitas Muslim terbesar di Jepang adalah warga negara Indonesia. Jumlahnya melampaui Pakistan maupun Bangladesh. Karena itu, Indonesia punya tanggung jawab moral untuk ikut mendorong solusi halal yang lebih proporsional di Jepang,” katanya.
 
KH Ubaidullah Shodaqoh menyambut baik pandangan tersebut. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi atas kegigihan Prof Satomi memperjuangkan keterjaminan makanan halal di Jepang. Namun, ia juga menegaskan bahwa fatwa fikih bersifat ijtihad ulama, tidak mengikat secara universal.
 
“Fatwa fikih adalah hasil ijtihad ulama. Sifatnya tidak memaksa semua Muslim di dunia untuk patuh, karena fiqih itu plural. Ada mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan lainnya. Keberagaman pendapat ini justru menunjukkan keluwesan Islam dalam menjawab persoalan,” terang Kiai Ubaid.
 
Kehadiran Prof Satomi di forum Bahtsul Masail membuat para peserta antusias. Sebagian menyimak dengan serius bagaimana fenomena halal di Jepang beririsan dengan dinamika global, termasuk kapitalisasi label halal yang kini juga menjadi perbincangan hangat di Indonesia. “Label halal jangan sampai menjadi ladang bisnis semata. Ia seharusnya menjaga ketenangan hati umat, bukan membebani produsen dan konsumen,” tegas Prof Satomi.
 
Usai forum, Prof Satomi kembali ke ndalem Kiai Ubaid dan berfoto bersama dengan buku karya beliau berjudul Petani Kehilangan Lahan. Momen sederhana itu menjadi penutup penuh keakraban, sekaligus simbol persahabatan antara ulama Nusantara dan akademisi Jepang yang peduli pada persoalan umat.